Ulama Karismatik Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan KH Saifuddin Zuhri atau dikenal juga Abah Guru Banjar Indah wafat pada Minggu hari ini.
KH Saifuddin Zuhri wafat diusia 74 tahun setelah dirawat di RS Sultan Agung di Kota Citra, Kota Banjarbaru, Kalsel.
Jenazah pimpinan Majelis Taklim Bani Ismail itu pun disemayamkan di kediamannya di Jalan Banjar Indah, Pemurus Dalam, Banjarmasin Selatan.
Ulama yang lahir di Desa Dalam Pagar Martapura, Kabupaten Banjar pada 20 Oktober 1952 tersebut merupakan salah satu keturunan dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
KH Saifuddin Zuhri juga merupakan salah satu murid dari KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Sekumpul.
KH Saifuddin Zuhri tidak hanya mashur sebagai ulama di tanah Banjar Kalimantan Selatan, namun juga di provinsi tetangga hingga luar kalimantan.
Dari pengumuman pihak keluarganya, jenazah KH Saifuddin Zuhri dimakamkan di Alkah Bani Ismail Desa Dalam Pagar Martapura.
Meninggalnya ulama ini membuat ribuan jamaah mendatang kediamannya di Jalan Banjar Indah, Kota Banjarmasin untuk menyampaikan rasa duka dan kehilangan yang dalam.
Wafatnya Ulama, Tanda..
..Ulama merupakan seseorang yang dikenal alim dan ahli dalam pengetahuan agama Islam. Mereka (para ulama) juga dikenal sebagai pembina atau pembimbing umat Islam dalam sisi keagamaan bahkan dalam sisi sosial kemasyarakatan.
Kehadiran seorang ulama dirasa tepat sebagai rujukan bagi umat Islam untuk mempelajari atau bertanya seputar persoalan kehidupan, terutama yang menyangkut persoalan agama.
Dalam al-Qur’an, di mana Allah SWT. berfirman bahwa, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami”. (QS. as-Sajdah [32]: 24). Kemudian dalam sebuah hadits juga diriwayatkan bahwa Nabi telah bersabda, “Senantiasa akan ada sekelompok dari umatku yang selalu menang memperjuangkan kebenaran sampai hari kiamat.”
Wafatnya para ulama, menurut Islam, mempunyai arti yang sangat berarti dan krusial. Kematian ulama bahkan disebutkan Rasulullah SAW sebagai awal tercerabutnya ilmu di muka bumi. Rasululla SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT tidak menggengam ilmu dengan sekali pencabutan, mencabutnya dari para hamba-Nya. Namun Dia menggengam ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, jika tidak disisakan seorang ulama, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka tersesat dan menyesatkan.” (HR Al Bukhari nomor 98)
Sebuah ilmu itu ibarat cahaya yang mampu memberikan manfaat penerangan bagi setiap insan. Ilmu adalah aset untuk meraih kebahagiaan dunia akhirat.
Seorang ulama adalah sandaran umat, harapan umat sebagai tempat meminta nasehat dan petunjuk. Wafatnya para ulama adalah musibah. Ketika para ulama sudah tidak ada, siapa yang kemudian akan menjadi panutan umat?
Sebagaimana ungkapan dari sebagian ulama salaf bahwa sebaik-baik pemberian adalah akal dan seburuk-buruk musibah adalah kebodohan. Apabila tiada lagi tersisa seorang ulama, maka umat akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai panutan.
Dimana mereka memberikan fatwa dengan tanpa ilmu dan pemahaman yang benar. Seolah kapal yang memberikan keselamatan, tapi kapal itu malah justru berlubang dan kemudian akhirnya tenggelam.
Selain itu, wafatnya para ulama juga sebagai tanda-tanda akan semakin dekatnya hari kiamat. Mengapa demikian? Ketika ilmu sudah diangkat dari muka bumi dan kemudian timbul kebodohan dan akhirnya kebatilan merajalela, maka itulah awal dari kehancuran. Seperti dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Nabi saw. bersabda:
“Termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan teguhnya kebodohan”. (HR. Bukhari)
“Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan dan sebuah kebocoran yang tidak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagiku daripada meninggalnya satu ulama”. (HR. Al-Thabrani dan al-Baihaqi)
Dengan wafatnya para ulama, tentu semua umat merasa kehilangan mengalami kesedihan yang amat mendalam. Hanya orang munafik saja yang tidak bersedih atas wafatnya pewaris Nabi.
Dalam sebuah hadist, Nabi saw. menegaskan,
Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Ketika seorang alim meninggal maka menangislah ahli langit dan bumi selama tujuhpuluh hari. Barangsiapa tidak sedih atas meninggalnya orang alim maka dia adalah orang munafik, munafik, munafik.” Nabi mengatakannya tiga kali. Selanjutnya, dalam hadits lain juga dituliskan bahwa “Kematian seorang ulama itu lebih disenangi Iblis, daripada kematian tujuh puluh orang ahli ibadah”.
Dengan demikian, kematian seorang ulama banyak memberikan pembelajaran. Menyadarkan kita bahwa setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian. Dan hendaknya dari setiap peristiwa kematian dijadikan sebagai alarm pengingat diri bahwa hanya akhiratlah tempat kembali.
Kemudian hikmah di balik wafatnya para ulama, antara lain
Pertama, wafatnya ulama adalah simbol terangkatnya ilmu yang bermanfaat.
Kedua, wafatnya ulama berarti hilangnya lentera umat.
Ketiga, wafatnya ulama berarti berhentinya sumber hikmah. Hikmah adalah intisari ilmu. Hikmah adalah buah ketika ilmu diiringi amal dan ibadah ritual diiringi ibadah sosial.
Keempat, wafatnya ulama berarti berkurangnya figur manusia yang tidak dikuasai hawa nafsu.
Kelima, wafatnya ulama berarti lenyapnya sosok pelayan umat.
Wallohu’alamu bisawab