fokusbatulicin.net – “Dimana Bumi Dipijak, Disitulah Langit Dijunjung” demikian sepenggal kailmat pepatah sekaligus nasihat yang turun temurun dari Suku Bugis Pagatan dan juga khususnya di lingkungan Keluarga besar Andi Satria Jaya bergulir dari mulut ke mulut, dari generasi ke genarasi. Ungkapan bijak tersebut sebagai motifasi positif kepada mereka yang hidup dalam sebuah peradaban. Setidaknya, Sore kemarin Andi Satria jaya masih ingat dan turut melontarkan kalimat itu saat Wartawan menggali beberapa informasi seputar peradaban Masyarakat Suku Bugis Pagatan.
Dijelaskan Andi satria jaya yang merupakan keturunan ke XII Kerajaan Pagatan dan Kusan dari Raja Pertama La Pangewa atau Kapiten Laut Pulo. Sebagian besar Masyarakat Suku Bugis Pagatan tersebar di sekitar kawasan pesisir Pantai dan belahan Sungai sebagai nelayan. kemudian menyebar ke kawasan pegunungan sebagai Petani. Dimana dari seluruh komunitas yang berkembang di tanah Bumbu, diperkirakan lebih dari 60 hingga 70 persen adalah merupakan penduduk Suku Bugis, dan telah menyebar ke berbagai penjuru dari pusat pedesaan hingga ke kawasan perkotaan. Terbesar berada di Pagatan kecamatan Kusan hilir.
Dari sejarah, yang ditulis oleh Nagtegaal Sejarawan asal Belanda Suku Bugis Pagatan tersebut bermula dari kedatangan seorang saudagar Bugis asal Wajo yang juga seorang Hartawan terkenal bernama Poewono Deka pada abad ke 18. Menurut Keterangan Nagtegaal, Kerajaan Kecil Pagatan didirikan pada pertengahan abad ke 18 oleh pedagang Bugis Asal dari Wajo yang bernama Poewono Deka atas peerkenan dari Sultan Banjarmasin. Kemudian Cucunya yang bernama Hasan Pangewa diangkat menjadi Raja di daerah ini. Untuk itu ia menulis dalam bukunya sebagai berikut:” Het rijkje Pagatan werd omstreeks het midden der achtiende eeuw gesticht door een vermogend boegineesch handelaar uit Wadjo (Zuid West Celebes) genaamd Poewono Deka, die van den Sultan Bandjarmasin vergunning kreeg zich aldaar tegen betaling van een bepalde pacht schat te vestigen. Hij werd opgepold door zijn kleinzoon Hassan Pangewa, die door den Sultan Bandjarmasin met den vosttelijken titel werd begitigd”
Menurut Lontara Kapiten La Mattone, seorang menteri kerajaan Pagatan dan Kusan yang ditulis pada tanggal 2 Jumadil Awwal 1285 Hijriyah atau 21 Agustus 1868 yang menceritakan bahwa asal mula Pagatan dibuka oleh Hartawan dari Tanah Bugis Wajo. Yang bernama Pena Dekke. Yang tidak lain adalah Kakeknya Raja Pagatan Pertama.
Diceritakan berlayarlah Penna Dekke menuju Pasir mencari pemukiman. Setelah sampai di daerah Pasir ia tidak sanggup tinggal disana. Kemudian keluar dari Pasir dan terus berlayar menyusuri Tanah Bumbu, namun belum juga ada tempat yang disenangi sehingga akhirnya sampai ke Muara sebuah sungai yang cukup menarik hatinya. Kemudian diketahuinya bahwa daerag tersebut termasuk dalam kawasankerajaan banjar.
Bertolaklah Penna Dekke menuju Banjarmasin untuk menemui Penembahan (Penembahan Batu.red). disampaikannya maksud yaitu mohon izin untuk bermukim ditempat tersebut. Maka berkatalah Penembahan: “baiklah kalau anda sanggup mengeluarkan biaya, karena daerah tersebut adalah hutan belantara dan lagi merupakan pangkalan tempat persinggahan orang jahat (perampok dan perompak.red).” maka Penna Dekke menjawab:” bagaimana nantinya sekiranya kami telah mengeluarkan biaya?” berkatalah pula Penembahan :” kalau anda telah mengeluarkan biaya sehingga daerah tersebut menjadi kampung, maka anda wariskanlah kepada anak cucu anda. Tidak ada yang dapay mengganggu gugat” (Ibid, Hal 2). Maka terjadilah serah terima antara Penambahan Batu dengan Puanna Dekke.
Sampai pada waktunya Penna Dekke akan kembali. Setelah sampai dipermukiman barunya, diperintahkannya menebas dan menebang hutan belantara seluruh pengikutnya dan dijadikannya perkampungan yang diberinya nama PAGATANG (kini disebut Pagatan.red). Datang pula saudaranya dari Pontianak bernama Pua Janggo, kakeknya Pua Ado La Pagala untuk menggabungkan diri. Kedua saudara itupun berunding dan sepakat untuk menjemput cucunya bernama La Pangewa turunan anak Raja dari Tanah Bugis yang dibawanya ke Pagatan. Setelah berada di Pagatan barulah cucunya tersebut dikhitannya. Dikawinkan dan selanjutnya dinobatkan menjadi Raja Pegatang Pertama.
Dari Lontara Kapitan La mattone juga diketahui, Penna dekke hanya diberi izin oleh Sultan Banjar dalam hal ini Penembahan Batu untuk membuka suatu perkampungan baru bersama dengan anak buahnya. Dan secara formal wilayah dimana kemudian berdiri kerajaan Pagatan adalah termasuk dalam wilayah kerajaan Banjar. Walaupun mungkin tidak dapat dikuasai secara effektif dan kurang produktif. Namun dari beberapa informasi yang dikumpulkan, Tanah Pagatan yang pada waktu itu disebut dengan nama Tanah Bumbu, bukanlah suatu daerah yang kosong penduduk. Disana sudah ada penduduk asli yaitu suku Banjar yang pekerjaannya mencari rotan (memagat.red dalam bahasa banjar). Kemudian disana juga hidup seorang ulama besar Syekh Abu Thalhah bin Syekh Mufti H.M As’ad seorang cucu dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Salah seorang saudaranya yang datang menyusul ke Pagatan menjadi Ulama turut menyiarkan ajaran Agama Islam, dan meninggal di Pagatan yaitu Syekh H. Muh. Arsyad Lamak yang meninggal pada tahun 1850 dan makamnya dapat ditemukan di desa Mattone Kampung Baru.
“pada saat kerajaan didirikan, La Pangewa yang ditunjuk menjadi Raja, baru berumur lima belas tahun. Dan setelah sampai di Pagatan ia baru dikhitan dan dikawinkan. Penobatan yang demikian kiranya hanya merupakan symbol dan pemegang kekuasaan effektif dalam kerajaan Pagatan tetap ditangan Penna Dekke. Kerajaan Pagatan benar-benar merupakan suatu kerajaan otonom, dimana campur tangan dari kerajaan Banjar tidak tampak sama sekali dan karenanya hukum yang berlaku dalam kerajaan ini adalah Hukum Adat Bugis” jelas Andi Satria Jaya.
Dari lontara diketahui, Raja Pagatan I yang saat itu mendapat gelar dari Penembahan Batu sebagai Kapiten Laut Pulo memerintah sejak tahun 1750 hingga 1830. Kemudian dilanjutkan oleh La Palebbi dengan gelarnya Raja Abdurrahman sebagai Raja II (1830-1838). Kemudian tampuk kerajaan berpindah tangan kepada La Palliweng atau Raja ke III (1838-1855). Selanjutnya kerajaan di pimpin pada periode selanjutnya oleh La Mattunru atau Raja Abdurrahim sebagai raja ke IV pada tahun 1855 hingga 1863. La makkarau sebagai raja ke V (1863-1871). Isengeng atau Daeng Makkau sebagai Raja ke VI (1875-1883). Abdul Jabar sebagai Raja ke VII (1871-1875).
Selanjutnya pada jaman Andi Tangkung sebagai Petta Ratu (Raja Perempuan.red) di tahun 1883-1893 sebagai Raja ke VII, karena perempuan Andi tangkung menyerahkan tampuk pemerintahan kepada sang suami untuk memangku jabatan kerajaan, dengan menyandang gelar Pangeran Mangkubumi, seraya menunggu saudara lelakinya Andi Sallo cukup usia untuk menyandang gelar sebagai Raja defenitif ke VIII , setelah berusia lima belas tahun Andi Sallo pun menjabat sebagai Raja ke VIII atau sebagai raja terakhir (1893-1908), dan lebur setelah peradaban kerajaan Hindia Belanda masuk dan menyerang ke Pagatan, juga melalui beberapa kali peperangan. Bahkan dalam rentetan sejarah Pagatan di ketahui Andi Sallo tewas pada usia empat puluh tahun karena diracuni oleh pihak pemerintah Hindia Belanda pada sebuah perundingan perdamaian.
Sebagai generasi penerus, Andi Sallo meneruskan keturunannya hingga sekarang, melalui Andi Genggong atau Haris Fadillah (1892-1967) kakek Andi Satria Jaya, kemudian H. Andi Ustman (1922-2004) Ayah Andi Satria Jaya.
Meskipun kerajaan Pagatan dan Kusan yang sempat berjaya di era 1750-1912 terletak di desa Mattone Kampung Baru Pagatan itu telah tiada dan kini hanya menjadi bagian sejarah cikal bakal terbentuknya Pagatanan dan cikal bakal Kabupaten Tanah Bumbu setelah terpisah dari Kabupaten Kotabaru, namun peradaban masyarakat Suku Bugis terus berkembang seiring perkembangan zaman, dengan tidak menghilangkan tradisi dan karakter kesukuan mereka. Hal ini terlihat dari perkembangan budaya yang masih dipertahankan hingga turun temurun sekarang ini, seperti disetiap peringatan hari besar keagamaan, pernikahan, hingga ritual tahunan Mappanretasi Pagatan sebagai bagian warisan leluhur mereka, bahkan memberikan pelajaran khusus tentang tata cara penulisan Tulisan Bugis hingga bisa membacanya kepada generasi muda masyarakat Suku Bugis.
Dalam adat budaya suku bugis, sangat erat dengan ritual religi islami, yang dikemas dalam sajian kesenian tradisional Masukkiri atau pelantunan riwayat mualid nabi Muhammad S.A.W, Shalat hingga Asmaul Husna dengan menggunakan alat rebbana jenis Terbang berukuran besar secara kolosal. Kemudian tradisi Silelung Botting, Mapanre Dewata dalam upacara pernikahan tradisional adat bugis, dan beragam adat budaya bugis lainnya yang selalu lestari di Tanah Bumbu.
Selain itu sebagai situs sejarah yang tertinggal, saat ini masyarakat Suku Bugis pagatan dan juga masyarakat Tanah Bumbu pada umumnya, masih bisa melihat makam para Raja-Raja Pagatan dan keluarganya yang ada di Desa kampung Baru Mattone (eks areal Kerajaan Pagatan). Soraja Loppo (kediaman Utama Raja Pagatan yang juga dijadikan Istana serta Pusat Pemerintahan, yang kini menjadi kediaman Andi Satria jaya di desa kampung baru Mattone Pagatan, serta Soraja Padotingeng (kediaman Raja Pagatan yang terletak di Desa Pagarruyung Pagatan). Sementara Soraja Pute yang terletak di pusat Kota Pagatan dan Soraja Malangga yang dulunya terletak di penghujung muara Kampung Baru telah hilang ditelan zaman, karena mengalami kerusakan yang sangat parah tidak terawat.
“disadari atau tidak, Dari kerajaan itulah masyarakat Suku Bugis Pagatan terlahir, berkembang seiring zaman, membaur dengan masyarakat Suku Banjar dan Dayak sebagai suku Pribumi. Memiliki daerah daerah sebaran tersendiri. Membentuk populasi baru disetiap zaman. Bahkan merekapun enggan disebut sebagai Masyarakat Suku Bugis Sulawesi. Meskipun nenek moyangnya adalah mereka yang terlahir dari Tanah Sulawesi. Tapi itulah kekhazanahan Tanah Bumbu. Perbedaan menyolok antara Bugis Pagatan dan Bugis Sulawesi pada Umumnya adalah terletak pada loghat atau dialek bahasa mereka. Jika Bugis Sulawesi memiliki nada percakapan berirama dan mengalun, tidak demikian dengan Bugis Pagatan. Dimana Bugis Pagatan berbahasa tegas dan lugas tanpa memiliki intonasi dan irama yang berlebihan. Sementara dari kebiasaan maupun cara pandang tetap sama. Bahkan dari bentuk dan corak pakaian adat mereka nyaris sama” ujar Andi satria Jaya yang kini menjabat sebagai Kepala Desa kampung Baru Mattone Pagatan, tempat dimana para Raja Pagatan atau kakek moyangnya sendiri dulu Berkuasa dan mememerintah kerajaan.
Secara teritorial, masyarakat Suku Bugis Pagatan sebagian besar hidup berada di kawasan pesisir Kelurahan Kota Pagatan,Desa Muara, Kampung Baru Mattone, Juku Eja, Wirittasi, Gusunge, hingga belahan pesisir Kecamatan Kusan Hilir. Sementara mereka yang gemar bercocok tanam memilih sebagai Petani Rancah, yang juga hidup disekitar bibir sungai Kusan Hilir dan Batulicin. Selebihnya memilih hidup sebagai pembuat kapal dan menetap di kawasan daratan sekitar pinggiran sungai dan laut. Namun, tak dipungkiri merekapun kini mulai memilih peluang-peluang usaha baru di kawasan perkotaan melalui jalur perdagangan, meskipun tidak banyak, karena masih di dominasi oleh mereka suku Banjar, dan warga keturunan China yang datang dari luar dan bahkan telah menetap secara turun temurun sejak Pagatan ditemukan.
Sementara komunitas jawa dan Bali lebih memilih berada pada kawasan pedalaman pedesaan, melalui aktifitas pertanian tadah hujan, dan juga perkebunan.
Menaungi aspirasi masyarakat bugis Pagatan, segaligus sebagai wadah pelestarian Kesenian dan beragam Budaya Bugis Pagatan, kini telah berdiri lembaga Adat “Ade Ogi Pagatan” (lembaga Adat Bugis Pagatan). Hal ini bertujuan salah satunya adalah untuk mempererat silaturrahmi Masyarakat Suku Bugis Pagatan, serta menjaga kerukunan masyarakat Suku Bugis dengan Suku Suku lainnya di Tanah Bumbu.(Muhammad Fadli/fokusbatulicin.com)