fokusbatulicin.net – Tahukah kalian, bahwa manusia adalah mahkluk yang diciptakan Allah dengan kesempurnaan dan kemulian, tetapi jika manusia tidak mensykuri hal itu, maka manusia bisa saja terjatuh kedalam kubangan kehinaan, karena mendapat laknat dari Allah SWT.
Pertanyaan :
Bisakah Manusia lebih mulia dari Malaikat…dan lebih hina dari Syeton…?
Jawab :
Manusia dapat menjadi lebih mulia dari pada malaikat jika beriman kepada Allah dan selalu mengerjakan amal shaleh.
Manusia yang iman dan amalnya tinggi akan menjadi lebih mulia dari malaikat karena manusia selain memiliki akal, manusia juga memiliki nafsu yang membuat manusia tergoda untuk tidak beriman kepada Allah.
Sedangkan malaikat hanya memiliki akal sehingga keimanan malaikat selalu tetap.
jika manusia mampu mengalahkan hawa nafsunya maka ia telah mulia dari pada Malaikat..
Pembahasan :
Manusia juga bisa jadi lebih rendah dari pada malaikat bahkan dari saitan sekalipun jika manusia tersebut terlalu menuruti hawa nasfunya. Sehingga membuat ia tidak mau beriman kepada Allah dan tidak mau melakukan amal shaleh bahkan hanya melakukan hal-hal yang Allah larang atau bermaksiat kepada Allah.
Contoh manusia yang lebih rendah dari Syetan adalah manusia yang menyembah berhala, dan tidak mau mengakui adanya Allah Zaljalaluh…
Syeton masih mengakui Bahwa Allah adalah Tuhan, meski dia pembangkang…tetapi manusia yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhannya…ini berarti lebih rendah daripada syetan…
Adakah Manusia yang memiliki Derajat Lebih Buruk dari Iblis dan Firaun…?
KITA tahu bahwa Firaun dan Iblis adalah makhluk-makhluk yang durhaka pada Allah SWt. Tidak terbayangkan, bagaimana mengerikannya jika seorang manusia dianggap lebih buruk dibanding keduanya.
Pasalnya baik Firaun maupun Iblis saja sudah demikian jahatnya, bagaimana jika lebih buruk dari mereka.
Pasti hal-hal yang dilakukan oleh manusia yang lebih buruk ini akan lebih buruk pula dibanding keduanya.
Ternyata tidak demikian adanya, karena cirinya sangat sering sekali terlihat dan dialami oleh manusia. Bahkan diantara kita juga sering melakukannya.
Ciri manusia yang dianggap lebih buruk dari firaun dan iblis adalah tidak mau memaafkan kesalahan orang lain.
Hal ini sangat sering terjadi dalam kehidupan. Memaafkan ternyata bukan perkara mudah. Namun bukan berarti manusia boleh tidak memberi maaf orang yang telah berbuat kesalahan.
Tertulis dalam kitab an-Nawâdir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Mishri al-Qulyubi asy-Syafi‘i.
Dikisahkan, suatu kali Iblis mendatangi Fir’aun dan berkata, “Apakah kau mengenaliku?”
“Ya,” sahut Fir’aun.
“Kau telah mengalahkanku dalam satu hal.”
“Apa itu?” Tanya Fir’aun penasaran.
“Kelancanganmu mendaku sebagai tuhan.
Sungguh, aku lebih tua , juga lebih berpengetahuan dan lebih kuat ketimbang dirimu. Tapi aku tidak berani melakukannya”, kata iblis
“Kau benar. Tapi aku akan bertobat,” kata Fira’un.
“Jangan buru-buru begitu,” bujuk Iblis la’natullah ‘alaih,
“Penduduk Mesir sudah menerimamu sebagai tuhan. Jika kau bertobat, mereka akan meninggalkanmu, merangkul musuh-musuhmu, dan menghancurkan kekuasaanmu, hingga kau tesungkur dalam kehinaan.”
“Kau benar,” jawab Fir’aun, “Tapi, apakah kau tahu siapa penghuni muka bumi ini yang lebih buruk dari kita berdua?”
Kata Iblis, “Ya. Orang yang tidak mau menerima permintaan maaf orang lain. Ia lebih buruk dariku dan darimu.”
Memang, perkara memaafkan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih jika kesalahan yang dibuat demikian menyakitkannya hingga menjadi luka yang teramat pedih.
Namun hal itu bukan menjadi alasan untuk seseorang tidak memaafkan kesalahan orang lain.
Karena ternyata Allah SWT akan membalas pemberi maaf dengan hal yang begitu istimewa.
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang didatangi saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya. Apakah ia berada dipihak yang benar ataukah yang salah, apabila tidak melakukan hal tersebut (memaafkan), niscaya tidak akan mendatangi telagaku (di akhirat),” (HR Al-Hakim).
“Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan,” (HR Ath-Thabrani).
Sumber : dari berbagai sumber
ditulis ulang oleh : Muhammad Fadli bin Munakif