Kisah & Karomah Syech Muhammad Nor Takisung ( Bagian 2)

1582
Fokusbatulicin.Net-Kalau di zaman Rasul, Allah subhanahuwata’ala memberikan keistimewaan kepada rasulullah dengan sebutan mukjizat, kemudian di zaman tabi’in atau para wali Allah (kekasih), Allah telah memberikan keistimewaan yang disebut dengan karomah. Nah, hal ini juga terjadi pada Tuan Guru Muhammad Nur Takisung di masa hidup.
Tuan Guru Muhammad Nur dikenal para muridnya telah membimbing dengan tekun dan keras untuk taqarrub kepada Sang Khalik. Dia mengajarkan ilmu tasawuf sekaligus membimbing murid-muridnya untuk senantiasa mengingat Allah Swt melalui dzikir.
Menurut seorang murid Syekh Muhammad Nur Takisung, salah satu contoh bimbingan yang diberikan Tuan Guru Muhammad Nur kepada murid-muridnya, pernah membawakan kacang hijau sebanyak 1 bakul kepada muridnya. Kemudian muridnya diminta membacakan lafadz “Laa ilaa ha illallah” sebanyak kacang hijau yang terdapat dalam bakul secara perlahan dengan hitungan biji per biji.
“Dan membacakan dzikir dengan kacang hijau itu tidak boleh dilakukan dengan cepat. Misalnya, baca…Laa ila ha illallah…., setelah selesai satu kali baca, baru boleh ngambil sebiji lagi kacang hijaunya, baca lagi ..Laa ila ha illallah…, bayangkan kacang hijaunya sebanyak satu bakul,” ungkap murid Syekh Muhammad Nur Takisung.
Tidak heran, kekerasannya dalam membimbing murid untuk senantiasa berdzikir, kini “buahnya” banyak dirasakan oleh para muridnya yang tersebar di seluruh penjuru daerah.
Sementara itu, ada salah satu kisah menarik dari sosok Tuan Guru Muhammad Nur Takisung dari seorang muridnya yang kini juga sudah tiada, yakni KH Anang Sya’rani dari Tanjung Rema, Gang Baru, Kecamatan Martapura.
Menurut KH Anang Sya’rani sewaktu masih hidup, Syekh Muhammad Nur telah mengetahui ajalnya akan tiba sebelum waktunya. Baik hari, tanggal, bahkan waktu tepatnya akan wafat.
“Beberapa hari sebelum wafat, Guru Muhammad Nur sudah membersihkan halaman rumahnya, kemudian memberikan tanda atau ciri lokasi kubur tempat dia harus dimakamkan. Saat itu, dia memberikan ciri, bahwa harus dikubur di antara dua pohon yang terdapat di halaman rumahnya,” ujar KH Anang Sya’rani kala itu.
Setelah memberitahukan lokasi atau tempat kuburnya, kemudian Syekh Muhammad Nur juga memberikan isyarat dan memintanya datang ke Takisung pada hari, tanggal dan jam yang ditentukan. “Nah, pada waktu yang diberitahukan itulah, beliau wafat. Bahkan tidak meleset sedikit pun waktunya dari waktu yang beliau sebutkan sebelumnya,” kenang KH Anang Sya’rani.
Kisah menarik lainnya yang pernah terjadi pada Tuan Guru Muhammad Nur Takisung, suatu ketika Tuan Guru Muhammad Nur sedang menunaikan ibadah haji. Dulu, di zaman dia menunaikan ibadah haji, belum ada yang menggunakan trasnportasi udara, melainkan hanya menggunakan kapal laut. Perjalanan menunaikan ibadah haji memerlukan waktu berbulan-bulan, hingga tiba di masjidil haram.
Kala itu, Tuan Guru Muhammad Nur menunaikan ibadah haji, meninggalkan istrinya dalam keadaan hamil tua. Setelah beberapa hari berangkat dari Kalimantan Selatan menuju Tanah Suci, mestinya Tuan Guru Muhammad Nur diperkirakan berada di tengah laut melakukan perjalanan haji. Namun anehnya, pada malam tertentu, Tuan Guru Muhammad Nur justru datang ke rumahnya di Desa Takisung, menjenguk keadaan istrinya yang sedang hamil tua. Setelah mengetahui keadaan istrinya dalam keadaan baik-baik saja, Tuan Guru Muhammad Nur kembali berangkat.
Tuan Guru Muhammad Nur bin Syekh Ibrohim Khaurani asal Desa Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, diketahui selain keras membimbing murid-muridnya dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt, juga memiliki pendirian yang teguh dan kuat. Dalam ijtihadnya melazimkan dzikrullah tentulah tidak gampang, tetapi dijalani dengan kesungguhan dan istiqomah.
Menjadi seorang ahli dzikir yang senantiasa bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Sang Khalik dijalani Tuan Guru Muhammad Nur dengan proses yang tidak mudah. Tetapi dia senantiasa melazimkan dzikrullah dalam setiap ibadah sholatnya dengan jumlah hitungan yang sangat banyak. Bukan hanya itu, dalam perjalanan melazimkan thoriqat (jalan) mendekatkan diri kepada Allah dia juga menempuh khalwat (mengasingkan diri) di sebuah gua gunung Lasung yang berada di wilayah Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Menurut khadam (pelayan) yang sering membantu di kediaman Tuan Guru Muhammad Nur, yakni Hajjah Hairiyah, dia pernah mendengar cerita dari istri Tuan Guru Muhammad Nur, bahwa Tuan Guru Muhammad Nur pernah melewati khalwat (mengasingkan diri) di gua Lasung, Kotabaru selama 41 hari / malam, tanpa makan dan minum.
Konon selama menjalani masa khalwat, yang diisi dengan ibadah-ibadah sholat serta dzikrullah, Tuan Guru Muhammad Nur tidak merasakan lapar dan haus, sehingga dapat dilewati tanpa makan dan minum.
“Menurut kisah, Guru Muhammad Nur berkhalwat sendirian saja selama 41 hari.  Sebelumnya, beliau pernah gagal menyelesaikan khalwat, tapi diulang hingga bisa selesai. Yang pertama khalwat hanya berjalan 20 hari, kemudian diulang dengan khalwat yang kedua selama 41 hari,” ungkapnya.
Dalam pengasingan diri di waktu yang berbeda, Tuan Guru Muhammad Nur juga pernah melakukan sebuah amaliah yang teramat sulit dapat dilakukan orang lain. Sebuah amaliah untuk meneguhkan hati dan keimanan. Dia telah memandangi matahari sejak terbit hingga tenggelam tanpa harus mengedipkan mata dalam keadaan berpuasa. (15ur)