Perjalanan hidup manusia benar-benar sebuah misteri yang tidak dapat diduga. Mereka yang hidupnya terlihat baik, bukan tidak mungkin di akhir kehidupannya membuat suatu hal yang tidak bisa kita kira. Sebuah pelajaran berharga ini akan terus menjadi pengingat bagi siapapun di masa depan.
Tokoh yang kita bahas ini adalah Abdullah bin Ali An Najdi Al Qasimi, yang lahir pada 1907 di Bandar Buraydah, wilayah Qasim di Arab Saudi. Pada masa mudanya, Abdullah Al Qasimi merupakan mahasiswa teladan dan cerdas.
Ia disebut orang pertama di era modern yang menulis kritikan ilmiah terhadap Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Kecerdasannya ini terus nampak dengan banyaknya buku yang dibaca dan ditulis.
Abdullah Al Qasimi dikenal sebagai kritikus yang mampu mematahkan argumen para Atheis yang mencoba menyerang Islam dan meragukan keberadaan Allah SWT. Dirinya kemudian masuk pada jajaran ulama Kibar (besar) yang cukup dikenal. Kebanyakan bukunya berfokus pada pembelaan terhadap Islam dengan banyak menguasai bidang keilmuan lain.
Puncak dari perjalanannya saat ia menulis sebuah buku yang sangat indah dan dipuji oleh gurunya sendiri dan umat Islam di eranya. Buku itu berjudul “As-Shira’ Baini al-Islam wa al-Watsaniyyah” yang artinya Peperangan antara Islam dan Pemuja Berhala.
Sebuah buku yang berisi pembelaan Islam dan membantah argumen ilmiah selain Islam. Pada kata pengantar buku ini, terdapat kutipan-kutipan ucapan ulama lain yang ditujukan kepada penulis dan pembaca.
Salah satu guru Al Qasimi, Syekh Shali Munajid (salah satu Imam Masjidil Haram) menulis pujian tertinggi di kata pengantar buku tersebut. Ia mengatakan Al Qasimi telah membayar mahar surga untuknya dengan tulisan ini. Maknanya Al Qasimi sudah layak masuk surga karena buku itu begitu indah dan bermanfaat di kalangan muslimin.
Mulai Sombong
Namun pujian-pujian yang ia terima kemudian menghadirkan rasa sombong yang perlahan mulai nampak pada dirinya. Al Qasimi sering memasukkan puisi dan syair puisi berisi pujian untuk dirinya sendiri di sampul buku-buku karyanya. Ia juga merasa cukup dengan keilmuan yang sudah dimiliki dan mulai merambah membaca buku-buku filsafat. Selain itu, ia menikahi seorang wanita asal Beirut yang menurut sebagian literatur mempengaruhi pemikiran Abdullah Al Qasimi kedepannya.
Al Qasimi yang dulu membela Islam dan membantah para Atheis, kini berbalik arah menyerang agama yang dulu ia pegang dan bela. Tentu saja buku-buku dan tulisan Al Qasimi pasca keluar dari Islam dibantah dan diserang habis-habisan oleh para ulama lain yang masih berpegang teguh di agama Islam.
Beberapa ulama lain juga sudah mencoba mengajak Al Qasimi untuk berdialog, namun ia masih begitu keras atas apa yang ia yakini. Ia telah melemparkan Islam yang selama ini ia bela dan teguh pada pendiriannya sebagai Atheis. Keyakinan ini juga yang ia bawa hingga ia meninggal karena kanker di rumah sakit ‘Ain Syams Kairo Mesir pada tanggal 1 September 1996.
Hidayah itu mahal dan keistiqomahan lebih mahal lagi harganya. Jika seorang ulama Abdullah Al Qasimi saja tergelincir di akhir kehidupannya, apa yang membuat kita terus merasa aman dan yakin bahwa kita adalah golongan orang yang selamat?
Kehidupan itu terus berjalan tanpa kita tahu kapan garis finishnya. Orang yang mungkin kamu kenal buruk, bukan tidak mungkin di akhir kehidupannya nanti jadi orang yang baik, yang diridhoi Allah masuk surga. Sedangkan kita yang selama ini terlalu angkuh dan merasa lebih baik, ternyata Allah SWT takdirkan akhir hidup kita menjadi lebih buruk. Na’udzubillah. Semoga Allah menjaga hati dan keimanan kita untuk senantiasa berada di atas jalan kebenaran.
Timur Tengah pernah dibuat heboh oleh keberadaan Abdullah Al Qasemi pada 1950-an. Bagaimana tidak, Qasemi yang semula tokoh intelektual dan pemikir Islam berubah menjadi ateis dan menentang ajaran Islam yang pernah jadi perhatian khususnya.
Bagaimana bisa?
Perjalanan hidup Abdullah Al Qasemi bermula pada 1907 di Buraydah, Arab Saudi. Sejak lahir, dia selalu diberi nilai-nilai pendidikan agama Islam. Sang Ayah diketahui sangat rutin memberi pelajaran Islam ke Qasemi sejak masih dini. Qasemi pun tak kuasa menolak dan hanya bisa manut karena masih kecil.
Seiring waktu, Qasemi tumbuh sebagai anak yang religius dan cerdas. Dia suka mempelajari ilmu hadis, hukum Islam, serta bahasa dan sastra Arab. Bahkan, kecerdasannya berhasil membawa Qasemi berkuliah di kampus Islam bergengsi, yaitu Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Foto Syekh Mutawalli Assa’rawi Bersama Abdullah Al Qasemi
Saat berkuliah, dia mulai dikenal sebagai tokoh intelektual yang menawarkan gagasan baru soal pola pikir bangsa Arab. Mengutip Al Arabiya, Qasemi sempat mendorong negara-negara Arab mengedepankan unsur rasional agar terbebas dari pemikiran mitologis.
Selain itu, dia juga membela gerakan Salafi. Pembelaan ini dituangkan dalam berbagai karya dan orasi ilmiah. Sebagai catatan, menurut situs Britannica, gerakan Salafi adalah gerakan Islam yang berusaha meniru praktik al-salaf al-salih atau para pendahulu yang saleh. Pendahulu yang dimaksud merujuk pada generasi awal umat Islam selama dan setelah masa hidup Nabi Muhammad.
Atas dasar ini, penganut Salafi, termasuk Qasemi, berpegang teguh pada Al-Qur’an, hadis, dan konsesus ulama. Mereka menolak bid’ah dan mendukung penerapan syariat Islam. Meski demikian, dukungan Qasemi terhadap Salafi membuat pihak kampus geram. Alhasil, pada 1931 dia dikeluarkan dari Al-Azhar.
Setelah tak lagi jadi mahasiswa, pemikiran Qasemi seketika berubah. Dari semula anak religius berkat orang tua, pendukung Salafi garis keras, kemudian beralih jadi orang yang meninggalkan kewajiban agama Islam. Puncaknya, dia memantapkan diri sebagai ateis atau tidak mengakui adanya Tuhan.
Keputusan menjadi ateis ini membuat heran banyak orang. Apalagi, dibarengi juga oleh terbitnya karya-karya baru. Salah satu yang kontroversial adalah The Lie to See God Beautiful. Lewat buku itu, dia mempertanyakan rasionalitas dan dogma agama yang selama ini dianut masyarakat.
Atas dasar ini, Qasemi jadi hujatan banyak orang dan musuh masyarakat. Perlahan, Buku-buku dan karya lainnya yang mengkritik agama dilarang banyak negara Timur Tengah. Banyak juga pihak yang memintanya dihukum mati karena upayanya itu. Bahkan, masih mengutip Al Arabiya, pada 1954 pemerintah Mesir memberlakukan “persona non grata” atau pengusiran kepada Qasemi imbas pemikirannya meluas. Pemerintah tak ingin ada Qasemi lain bermunculan.
Selain itu, dirinya pun berulangkali jadi sasaran pembunuhan, baik itu saat berada di Mesir atau di tempat pengasingan, Lebanon. Hingga akhirnya, upaya penyebaran ajaran liberalisme dan tentangan agama berhenti pada 9 Januari 1996 karena kanker.