Guru Fadli Sasak : “Puasa Harus Mampu Menambah Kedekatan Diri Kepada Allah”

263
“Puasa tidak hanya tentang usaha mencegah dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa, seperti makan & minum, dan bersenggama, memasukkan sesuatu ke lubang terbuka (jauf), muntah disengaja, murtad, haid & nifas, dan keluar mani sebab bersentuhan saja, akan tetapi Lebih dari itu, puasa harus menjadi sebuah momentum untuk meninggalkan segala bentuk kemaksiatan, baik maksiat dzahir maupun bathin”. beber Ustadz Muhammad Fadli bin Munakif As-Sasaqy Pengasuh Majlis Hikmatul Muhibbin Lilmusthofa Salallahu Alaihi Wassalam, Kersik Putih Batulicin Tanah Bumbu. saat tawakufan (penutupan) majlis rutin mingguan beliau menjelang Ramadhan. Jumat (08/3) malam tadi, di Aula Rumah Tarim Kersik Putih, gedung utama Majlis Hikmatul Muhibbin.
lebih jauh diungkapkannya, sesuai makna yang terkandung didalam sebuah hadist Rasulullah yang beliau sampaikan beberapa abad silam. dimana Rasulullah bersabda:

  كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش

Artinya, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga” (HR An-Nasa’i).

“Hadits di atas secara jelas memberikan suatu pengertian bahwa betapa banyak orang melakukan puasa dan sukses mencegah dirinya dari hal-hal yang membatalkan puasa, hanya saja tidak mandapatkan pahala. Lantas apa saja penyebab yang bisa menghilangkan pahala puasa?” tanya nya dihadapan jamaah yang berhadir.

dijelaskannya, Habib Zain bin Smith menulis dalam sebuah kitab al-Fawaidul Mukhtarah li Saliki Tariqil Akhirah, beliau memberikan tiga penafsiran terkait ayat di atas. Yaitu:

pertama, orang berpuasa tapi tidak meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang bisa menghilangkan pahala puasa, seperti, menggunjing orang lain, mengadu domba, dan berbohong, sumpah palsu,  Alasan ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadistnya. Beliau bersabda:
خمسٌ يُفطِرن الصّائِم: الغِيبةُ، والنّمِيمةُ، والكذِبُ، والنّظرُ بِالشّهوةِ، واليمِينُ الكاذِبةُ

Artinya, “Lima hal yang bisa membatalkan pahala orang berpuasa: membicarakan orang lain, mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu” (HR Ad-Dailami).

Kedua, dalam hati orang yang berpuasa ada sifat riya’ (ingin dipuji oleh orang lain) atau merasa bahwa dirinya lebih baik dari yang lain. Ini juga dapat menghilangkan pahala puasa.

Kemudian, Guru Fadli sapaan akrab ustadz kelahiran Ampenan, Lombok Barat, Suku Sasak NTB  ini, memaparkan bahwa  Habib Zain bin Smith didalam kitab itu menyampaikan suatu hikayat. Dimana pada suatu hari ada seseorang yang menghadiri majelis Syekh Abdul Qadir al-Jilani, kemudian dihidangkan di hadapannya suatu makanan. kemudian Syekh Abdul Qadir berkata, “Makanlah!”, orang itu menjawab “Saya puasa,”.

Baca Juga  Membenci Habib, Bolehkah?

“Makanlah! Saya akan menjamin pahalamu satu hari penuh dan diterima di hadapan Allah subhanahu wata’ala,” lanjut Syekh Abdul Qadir. Ternyata orang tersebut tidak mau. “Makanlah! Saya akan menjamin pahalamu satu bulan penuh dan diterima di hadapan Allah subhanahu wata’ala,” tegas Syekh Abdul Qadir.

Namun, lagi-lagi orang tersebut tidak mau. Syekh Abdul Qadir kembali mengatakan, “Makanlah! Saya akan menjamin pahalamu satu tahun penuh dan diterima di hadapan Allah subhanahu wata’ala.” Namun, sikap seperti pertama saat ia datang tidak kunjung berubah, dan tidak mau makan apa yang dihidangkan di hadapannya.

Dengan itulah, akhirnya Syekh Abdul Qadir mengatakan, “Tinggalkanlah, engkau telah hina di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala”, dan setelah kejadian itu orang tersebut menjadi Nasrani bahkan mati dalam keadaan kafir.

Kisah ini berlaku dalam konteks puasa sunnah, tidak dalam puasa fardhu. Sebab, dalam puasa fardhu seseorang tidak boleh berbuka sepanjang tidak ada alasan yang bisa dibenarkan. Membatalkan puasa wajib hanya karena menjadi tamu tidak diperkenankan, kecuali dalam kasus puasa sunnah.

Ketiga,termasuk sesuatu yang bisa menghilangkan pahala puasa ialah berbuka puasa dengan sesuatu yang haram. Di samping bisa menghilangkan pahala puasa, lebih dari itu berbuka dengan sesuatu yang haram juga bisa membuat seseorang merasa berat untuk melakukan suatu ibadah, sehingga akan sangat mudah meninggalkannya. Dengan kata lain, berbuka puasa dengan makanan haram bisa membuat diri seseorang yang puasa malas beribadah (Habib Zain bin Smith, al-Fawaidul Mukhtarah li Saliki Tariqil Akhirah, h. 587).

Tiga hal di atas, harus disadari bahwa sangat berdampak negatif bagi orang yang melakukan puasa. Karena, jika tetap melakukannya, orang yang berpuasa hanya bisa melakukan puasa tanpa mendapatkan pahalanya.

Diakhir kajian malam itu, iapun mengungkap tentang pendapat Imam Ghazali yang secara gamblang mengklasifikasikan puasa menjadi tiga, yaitu puasa awam/umum, puasa khusus, dan puasa khusus dari yang khusus.

Tingkat pertama adalah puasa awam atau umum yang biasa dilakukan oleh orang yang baru mulai berpuasa. Pada tingkat ini, puasa dilakukan untuk menahan diri dari memasukkan sesuatu dalam perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwatnya.

Baca Juga  Takut Tahlilan?.... Ini Dalilnya !!!

Puasa umum hanya menekankan pada aspek menahan diri dari hal yang membatalkan puasa secara jasmani, tidak memperhatikan aspek lainnya seperti batin dan pikiran. Orang yang berada pada tingkat puasa umum berpotensi melakukan dosa karena hanya berpuasa secara jasmani, tapi tidak dapat menahan pandangannya, lisannya, dan bagian tubuh lainnya dalam hal-hal makruh. Misalnya berpuasa tapi mengisi waktu dengan menonton tayangan yang tidak penting, atau hal-hal lainnya.

Tingkatan selanjutnya adalah puasa khusus yaitu menahan pandangan, penglihatan, lidah, tangan, kaki, serta seluruh anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa. Pada tingkat ini, orang yang berpuasa tidak hanya menahan diri untuk memenuhi kebutuhan syahwat, tapi juga menahan seluruh anggota tubuh dari perbuatan yang dilarang oleh Allah. Orang yang berada pada tingkat puasa khusus akan menahan lisan, penglihatan, pendengaran, dan seluruh anggota tubuh pada hal-hal yang tidak penting, tidak perlu, makruh, dan menjerumuskan pada dosa.

Menurut pemikiran Imam Ghazali, hakikat puasa adalah media untuk dekat dengan Allah swt. Puasa sebagai media dapat berfungsi sebagaimana mestinya apabila puasa dilandasi oleh kemauan kuat untuk semakin dekat dengan Allah dengan cara memerangi keinginan yang sifatnya lahiriah.

Tingkatan paling tinggi adalah puasa khusus dari yang khusus yaitu puasa hati dari segala cita-cita yang hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya daripada selain Allah secara keseluruhan. Orang yang berada pada tingkat ini biasanya para nabi, para aulia Allah, shiddiqin, dan orang-orang yang didekatkan pada Allah.

Pada tingkat ini, puasa tidak hanya dilakukan untuk menahan diri secara jasmani, tapi juga hati, batin, dan pikirannya. Orang pada tingkatan ini akan merasa batal berpuasa ketika muncul dalam hati dan pikirannya tentang duniawi, kecuali hal-hal duniawi yang mendorongnya untuk lebih dekat dengan Allah.

“Tingkatan puasa tersebut menunjukkan adanya proses orang-orang beriman untuk menjadi lebih baik dalam menjalankan ibadah puasa yang begitu istimewa. Misalnya seseorang yang baru memulai berada pada tingkat puasa umum, maka harus terus berusaha agar bisa naik tingkat ke puasa khusus sehingga dapat terus berusaha berada dekat Allah SWT, sebagaimana menggunakan fungsi puasa sebagai media mendekatkan seorang hamba dengan Allah SWT” bebernya. (Media Da’wah Majlis Hikmatul Muhibbin)