Sekelumit Asal Usul Baalawi, Mazhab Akidah dan Sejarah Perkembangan Tasawuf Ba’lawi

655

Dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan, Ba’lawi adalah kaum yang nasabnya bersambung kepada Ali bin Abi Talib. Biasanya disebut Alawi atau Alawiyyin.

Secara khusus kata in digunakan untuk menyebut keturunan Rasulullah SAW dari Alwi
bin ‘Ubaydillah (Abdullah. Nama Kecil Beliau.red) bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin ‘Ali al-‘Uraydi bin Ja’far bin Sidiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zaynal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Talib.

Jadi, Ba’lawi pada dasarnya dinisbatkan kepada keturunan Husein bernama Sayid Alwi yang merupakan orang pertama dari keturunan Husein yang lahir di Hadramaut Yaman. Adapun keturunan dari Hasan bin Ali bin Abi Talib umumnya disebut dengan gelar syarif.

Sayid Alwi adalah cucu dari Ahmad bin Isa al-Muhajir, keturunan Rasulullah SAW yang berhijrah dari Basrah, Irak ke Hadramaut, Yaman. Sayid al-Muhajir hijrah dalam rangka menghindar dari gejolak fitnah yang sedang terjadi di Irak.

Ia dan keluarganya menjadi orang pertama dari keturunan Nabi SAW yang berhijrah ke Hadramaut, sehingga diberi gelar al-Muhajir. Hijrah ini dilakukan pada tahun 317 H, turut serta dalam rombongan ini istrinya, Zaynab binti Abdullah bin Hasan bin Ali al-‘Uraydi, putranya yang bernama Abdullah (Ubaydillah) beserta istri, Ummu al-Banin binti Muhammad bin Isa dan cucunya yang bernama Ismail.

Alasan utama Ahmad bin Isa melakukan hijrah adalah karena pada abad ke-10 M terjadi huru-hara yang menimpa wilayah Irak dan sekitarnya. Daulah Bani Abbasiyah berada diambang keruntuhan.

Pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan terjadi di mana-mana. Kondisi tidak stabil ini diperparah dengan berkembangnya aliran-aliran sesat seperti kaum Zinj, Syi’ah Qaramit
ah dan kaum Ibadiah.

Habib Abdullah al-Sakran menjelaskan: “Berkat hijrah ini selamatlah anak cucu beliau dari berbagai kerusakan akidah, fitnah, kegelapan bidah, penentangan terhadap Ahlusunah wa al-Jama’ah. Berkat hijrah tersebut pula mereka selamat dari kecenderungan untuk mengikuti berbagai keyakinan Syi’ah yang menyesatkan, yang melanda sebagian besar anak cucu Nabi di Irak.

Para keturunan Nabi tersebut terkena fitnah mungkin karena mereka tetap tinggal di sana. Adapun anak cucu Ahmad bin Isa yang tiba di Hadramaut dan kemudian menetap di kota Tarim, mereka adalah anak cucu Nabi yang Sunni serta berakhlak mulia.

Selain itu, Ahmad bin Isa juga membawa 70 orang yang menjadi pengikutnya. Kaum Ba’lawi memiliki gelar yang berbeda-beda. Di Mesir mereka disebut dengan Syarif. Di luar negara Hijaz mereka dipanggil sayid. Sementara di Indonesia diberi gelar habib (jamaknya
habaib).

Adapun panggilan sayid didasarkan atas sabda Nabi SAW: “Hasan dan Husain adalah sayid (pemimpin/tuan) bagi para pemuda penghuni Surga” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Senada dengan penjelasan Buya Hamka yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW tidak meninggalkan putra lelaki. Tetapi putri beliau Fatimah al-Zahra mempunyai dua orang putra dari perkawinan dengan Ali bin Abi Talib, Hasan dan Husein.

Terkait dengan nasabnya, Nabi SAW pernah bersabda: “Setiap sabab (penyebab pertalian keturunan) dan nasab (pengikat garis keturunan) akan putus pada hari kiamat, kecuali nasabku” (HR. Baihaqi).

Atas dasar sabda ini dan sejumlah kesaksian yang ada, kaum Ba’lawi diyakini merupakan keturunan Nabi SAW. Keterangan lebih lanjut mengenai catatan keturunan Nabi SAW
bisa ditelusuri dari penjabaran Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Khatib yang menulis kitab al-Jawhar al-Saffaf. Sebuah kitab yang menerangkan beberapa pendapat ulama tentang nasab Ba’lawi.

Baca Juga  Kenali Mahram Anda!!

Silsilah keturunan kaum Ba’lawi memiliki beberapa keistimewaan. Di antara keistimewaan tersebut adalah bahwa silsilah nasab mereka tercatat rapi dalam Maktab al-Daimi. Sebuah organisasi khusus yang mencatat nasab Ba’lawi di manapun mereka berada.

Definisi dan Asal-Usul Tariqah Ba’lawi

Tariqah Ba’lawi adalah sebuah metode, sistem atau tata cara tertentu yang digunakan oleh kaum Ba’lawi dalam perjalanan spiritualnya menuju Allah. Habib Abdurrahman bin Abdullah
Bilfaqih menjelaskan: “Ketahuilah, sesungguhnya tariqah anak cucu Nabi SAW dari keluarga Alwi merupakan salah satu tariqah kaum sufi yang dasarnya adalah ittiba’ (mengikuti) al-Qur’an dan al-Sunnah, sedangkan bagian utamanya adalah sidqu’ al-iftiqar (benar-benar merasa butuh kepada Allah).

Tariqah Ba’lawi yang lahir dari hijrahnya Ahmad bin Isa tidak lepas dari niat awal untuk ‘uzlah dengan tujuan mencari tempat yang lebih baik bagi keluarganya. Karena itu, begitu tiba di
Hadramaut, Ahmad bin Isa cenderung mengamalkan akhlak- akhlak tasawuf yang dianjurkan kepada semua keluarga dan keturunan-keturunannya. Tradisi yang condong kepada kehidupan sufi seperti mengedepankan akhlak mulia dan menjauhi popularitas ini diwariskan secara turun-temurun oleh keturunan Ahmad bin Isa. Hingga pada abad ke-6 H terjadi perkembangan tasawuf di dunia Islam.

Hal itu ditandai dengan munculnya para imam tariqah sufi seperti Syekh Ahmad al-Rifa’i (w. 570 H), Syekh Abdu ‘al-Qadir al-Jailani (w. 651 H), Abu ‘al-Hasan al-Syadzili (w.656 H) dan lain-lain. Seiring dengan itu muncul pula salah satu tokoh terkemuka dari Ba’lawi, yaitu Muhammad bin Ali Ba’lawi atau yang dikenal dengan julukan al-Faqih al-Muqaddam, yang
berjasa mengembangkan satu bentuk tata cara dan praktik tasawuf kaum Ba’lawi. Tata cara dan praktik tasawuf dari al-Faqih al-Muqaddam ini kemudian disebut dengan istilah Tariqah Ba’lawi.

Meskipun leluhur sebelum al-Faqi>h al-Muqaddam sudah menempuh jalan tasawuf, akan tetapi pada zaman leluhur itu belum dikenal nama Tariqah Ba’lawi. Sebagaimana yang dikatakan Habib Muhammad bin Ali Khird:

“Sebelumnya (sebelum masa Muhammad bin Ali Ba’lawi), masyarakat Hadramaut adalah orang-orang yang suka melakukan berbagai ketaatan dengan penuh kesungguhan, menjauhi yang haram dan bersikap wara’ terhadap segala hal syubhat maupun makruh. Ketika al-Faqih al-Muqaddam muncul, maka tasawuf pun lebih dikenal, syiar-syiarnya nampak, ilmu tasawufnya tersebar luas, kemuliaannya terkenal. Orang-orang yang ingin menempuh jalan tasawuf pun mendatangi al-Faqih al-Muqaddam.

Al-Faqih al-Muqaddam mulai mempopulerkan praktik tasawufnya kepada masyarakat Tarim setelah mendapatkan bimbingan spiritual dari gurunya, Syekh Sa’ad bin Ali. Selain itu, ia juga mendapat dukungan dari seorang ulama terkemuka Syekh Sufyan al-Yamani, serta pengakuan dari seorang guru sufi asal Maroko, Syekh Abi Madyan. Sejak itulah, ia dikenal sebagai guru tariqah sufi pertama di Hadramaut.

Ia pun mengajarkan tasawuf kepada penduduk Hadramaut dan penduduk luar Hadramaut yang datang untuk belajar suluk darinya. Setelah diakui sebagai guru sufi, al-Faqih al-Muqaddam mengajak keluarga dan pengikutnya untuk lebih memusatkan perhatiannya kepada ilmu, amal, dan upaya penyucian hati dengan banyak membaca al-Qur’an, salat malam, puasa sunnah, memberi makan kepada fakir, janda dan anak yatim, hidup khumul serta mematahkan hawa nafsu dengan berbagai bentuk mujahadah.

Salah satu karakter yang dibentuk al-Faqih al-Muqaddam pada permulaan pengenalan tasawufnya adalah menjauhi popularitas, jabatan, dan ambisi politik. Untuk mewujudkan karakter itu, al-Faqih al-Muqaddam mematahkan senjatanya (suatu adat orang Yaman membawa senjata pisau khusus) sebagai simbol mematahkan hawa nafsu, dan jabatan
serta menghindari kekerasan.

Baca Juga  Kemulyiaan Wanita Tarim Hadramout Yaman

Berdasarkan peristiwa itu dapat dipahami, kalangan kaum Ba’lawi yang menjalani praktik tasawuf lebih condong untuk tidak terlibat dalam dunia politik. Kedudukan yang mereka kejar adalah kemuliaan sejati, yaitu kedekatan dengan Allah yang Maha Kaya dan Maha Pemurah.

Karakter ini yang menjadi ciri utama Tariqah Ba’lawi. Tetapi di masa al-Faqih al-Muqaddam ini, Tariqah Ba’lawi masih berupa pengalaman akhlak dan belum lahir karangan-karangan tentang petunjuk khusus bagi para penempuh jalan tariqah.

Perkembangan yang signifikan terjadi pada masa Abdullah bin Abi Bakar Alaydarus (w. 864). Dimana pada zaman ini, perkembangan Tariqah Ba’lawi> bisa dilihat dengan lahirnya buku-
buku petunjuk seperti; Al-Kibrit al-Ahmar, Al-Juz al-Latif, dan Al-Ma’arij. Sementara perkembangan puncaknya terjadi pada masa Habib Abdullah al-Haddid, yang berjuluk juru bicara kaum Ba’lawi. Habib Abdullah al-Haddad merumuskan metode baru yang tujuannya untuk memudahkan kaum Muslimin serta menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Dia membuat awurad (wirid-wirid), menulis kitab dan wasiat-wasiat yang tersebar hingga ke negara-negara Afrika dan Asia Tenggara. Corak tasawuf yang dikembangkan bertujuan untuk mentarbiyah, mendikte dan menjaga anak keturunan dan masyarakat umum agar tetap dalam standar keagamaan ulama salaf salih, khususnya, penjagaan tradisi keagamaan dan akidah Islam. Hal ini bisa dilihat dari bacaan-bacaan zikir yang senantiasa memberi kesan pentingnya menjaga akidah. Salah satunya adalah bacaan Ratib al-Haddad. Zikir yang disusun oleh Habib Abdullah al-Haddad ini biasa dibaca setelah salat Maghrib.

Zikir ini bertujuan untuk menjaga para pengikutnya dari pengaruh akidah sesat Syi’ah.
Penyusunan zikir ini sendiri memiliki akar historis di negeri Hadramaut, tepatnya ketika mazhab Zaydiyah muncul. Begitu pula bacaan-bacaan lainnya berupa shalawat, zikir, h
}izb dan lain sebagainya, semua itu sarat muatan tradisi khas Ahlusunah mazhab
Syafi’iyyah.

Aturan dan disiplin tariqah-nya tidak jauh berbeda dengan tradisi para ulama, termasuk mengutamakan menuntut ilmu-ilmu yang diperlukan. Hal ini dapat diamati dari pengaruh kitab Ihya Ulumuddin yang cukup kuat dalam aspek disiplin dan adab keilmuan. Tasawuf ini mengutamakan talqin ilmiyah dengan dasar kitab Ihya’ Ulumuddin sehingga berpengaruh besar terhadap disiplin tariqah-nya. Disiplin ilmunya berpangkal pada maratib (tingkatan) kitab yang dikaji. Seperti kitab Bidayah al-Hidayah diajarkan untuk para pemula, kemudian meningkat kepada kitab Minhaj al-Abidin dan berlanjut kepada kitab Ihya’ Ulumuddin.

Selain itu, sistem pengajarannya mendahulukan kitab al-Ghazali yang dilanjutkan dengan al-H
ikam karya Ibnu Athaillah al-Sakandari, ulama Tariqah Syadziliyyah.

Praktik tasawuf Ba’lawi ini memiliki keunikan daripada tariqah tasawuf lainnya. Ajaran dan amaliyahnya yang merupakan perpaduan antara tasawuf Imam al-Ghazali dan Tariqah Syadziliyah dikemas dalam bentuk pengamalan yang mudah bagi kalangan umum umat Islam. Tidak ada baiah secara khusus, tetapi ada talqin dengan guru dan ijazah wirid. Tariqah mengutamakan amaliyah batin (khumul, sidq, husnu al-zzan, tawadu’ dll). Sedangkan pengamalannya banyak mengacu kepada kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali.

 

Tulisan ini Dikutip Dari Karya Kholili Hasib
Institut Agama Islam Darullughah Wadda’wah Bangil-Pasuruan
Email: kholili.hasib@gmail.com

Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam
Available at: http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/kalimah
DOI: http://dx.doi.org/10.21111/klm.v15i1.822

file:///C:/Users/SONY/Downloads/822-Article%20Text-2211-2-10-20180326.pdf